.

Disclaimer: Shingeki no Kyojin/Attack on Titans belongs to Isayama Hajime

Saya tidak mendapatkan keuntungan material apapun dari pembuatan fanfiksi ini.

Warning: OOC, miss typo(s), AU modern world, BL etc

Diikutkan untuk FID 6 dengan tema 69. Dan direalisasikan dengan 69 drabble yang akan dibuat dalam 7 chapter.

Khusus untuk chapter terakhir aku menggunakan prompt-ku sendiri. Terima kasih untuk semua teman-teman yang membantuku selama ini ya ^^

.

*…

.

61. Status

Eren tahu Levi datang ke rumahnya sore ini. Untuk membicarakan hubungan mereka dengan keluarga Eren, katanya.

Dia ingin mendengar secara langsung pembicaraan itu, tapi Hanji sudah mengunci Eren di kamarnya dan membawa pergi kunci itu entah ke mana. Sang remaja bermata hijau hanya bisa menempelkan telinganya di atas lantai, berusaha mendengar apa yang terjadi di ruang tamu mereka.

Dan hasilnya nihil.

Dia khawatir. Takut jika terjadi sesuatu yang tak menyenangkan di sana. Mungkin orang tuanya akan menolak. Mungkin ayahnya akan memukul Levi—meski itu tak akan berpengaruh banyak. Bahkan mungkin duel hidup mati Mikasa dan Levi akan terjadi.

Pemikiran seperti itu sudah cukup membuat Eren gila.

Tiga jam penuh dia menunggu dalam kecemasan. Semua PR yang seharusnya dikerjakan, ia lupakan. Dia hanya dapat duduk di sudut kamar dan berdoa. Berharap tidak ada sesuatu yang buruk. Sungguh, dia tak siap jika misalkan harus pindah rumah untuk menghindari Levi, mungkin dia akan bunuh diri jika itu terjadi.

Er… tidak juga sebenarnya, Eren lebih memilih untuk kawin lari dibanding mati sebenarnya.

Jadi, bisa kau bayangkan betapa leganya Eren saat membuka pintu kamarnya dan menemukan wajah penuh senyum—minus Mikasa dan Levi yang memang pada dasarnya tak terlalu pandai mengekspresikan perasaan—menyambutnya. Entah itu seyum lebar Hanji, senyum kecil ibunya atau bahkan senyum terpaksa sang ayah. Namun setidaknya mereka tersenyum.

Hanya sebuah lebam tipis di pipi Levi saja yang sempat membuat Eren ketar-ketir. Dan akhirnya Eren memiliki kesempatan untuk bertanya saat diam-diam dia mengikuti gurunya ke taman belakang. Mencari waktu untuk pembicaraan yang lebih pribadi.

"Anggap saja ini bentuk restu dari Ayahmu dan Mikasa."

"Tapi…"

"Dua hari sembuh." Levi mengusap kepalanya pelan. "Bukan harga yang seberapa dibandingkan dengan mendapatkanmu."

Eren melihat cincin ayahnya kini telah melingkar di jari manis tangan kiri Levi. Air mata mengalir di wajahnya. "Sir… aku… aku…"

"Simpan air matamu bocah. Dan lepaskan cincin itu. Kita ulangi lagi upacaranya."

"A-apa?"

"Upacara pertunangan kita. Jangan bilang kau tak tahu maksudku datang ke rumahmu."

"Aku tahu… hanya saja…"

Levi melepaskan cincinnya dan memberikannya pada Eren. Dilepaskannya cincin yang dikenakan pemuda itu dan digenggamnya. Ditatapnya Eren dalam-dalam, satu tanggan merambat ke belakang telinga si remaja, mengelus lembut rambut yang tumbuh di sana. Dua mata beda warna saling bertatapan.

"Aku tak mau peduli pada jawabanmu. Mulai saat ini kau terikat denganku. Dan akan selamanya sama. Kau mengerti bukan, Eren Jeager?"

"Itu pemaksaan!"

"Jadi kau tak mau?"

"Bukan begitu… aku hanya…"

"Jadi jawabanmu?"

Eren menghela napas panjang. "Tentu saja, Sir. Aku akan terus bersama Anda."

"Jawaban yang bagus."

Dan proses tukar cincin dilakukan. Eren menggandeng tangan Levi erat—seolah takut pria itu akan menghilang jika dia melepaskannya. Kini mereka telah memiliki sebuah hubungan resmi. Status mereka telah berubah. Dari lajang menjadi bertunangan.

Satu langkah menuju kehidupan baru telah dilakukan. Dan masih banyak langkah lain yang akan dilakukan mereka kelak.

.

…*…

.

62. Kemenangan mutlak

Mikasa mencegat Levi saat pria itu mengantarkan Eren pulang. Wajah gadis itu tampak jauh dari kata bersahabat. Tampaknya memukul Levi satu kali belum memuaskan kekesalannya.

"Eren adalah kakak yang berharga. Sahabat yang menyenangkan. Dan cinta pertama yang tak akan kulupakan."

"Jadi, apa yang mau kau sampaikan, Mikasa Ackerman?" Levi bertanya sambil menyilangkan tangan di dada. "Kau ingin mengancam akan membunuhku jika sampai membuat Eren menangis? Aku katakan saja, mustahil. Aku akan banyak membuatnya menangis. Menangis bahagia di ranjang, tentu saja."

Mikasa tampak kesal dengan kata-kata Levi. Namun dia hanya mendecak kecil saja. "Eren sudah memilihmu. Aku tak bisa mengatakan apa-apa lagi."

"Tak biasanya kau mengalah semudah ini."

"Aku melakukannya demi Eren. Selama dia bahagia, aku akan melakukan apapun untuknya."

"Sikap posesifmu itu mengerikan."

"Aku harap kau juga memiliki sikap posesif yang sama untuk Eren."

"Jangan samakan aku denganmu." Levi menyunggingkan senyum sinisnya. Matanya tampak menerawang, seolah ia lupa jika dia tengah bicara dengan Mikasa saat itu. "Aku akan menjaganya dengan caraku sendiri."

Mikasa tersenyum tipis mendengarnya. "Kedengarannya bagus. Kau sudah memenangkan Eren. Mau tak mau kau harus bertanggung jawab untuk hal itu." Mikasa mendengus kesal. "Dan ternyata aku memang tak pernah bisa lebih baik dari kau."

"Aku tak memenangkan apapun. Eren bukan piala." Levi menepuk kepala Mikasa pelan. Hal yang tak pernah dilakukannya, sekalipun saat Mikasa masih berusia belia. Gadis itu sudah membencinya sejak dulu dan tak pernah sudi disentuhnya. Namun Mikasa hanya diam saja dan tak menepis kali ini. "Tapi aku tunggu kau di perlombaan lainnya, Mikasa Ackerman. Tunjukkan padaku kemampuan terbaikmu sebagai seorang Ackerman."

Mikasa mendengus dan menyingkirkan tangan Levi dari kepalanya. "Aku tak akan kalah. Aku kuat."

"Aku tahu itu."

Dari dalam rumah, hanji Zoe tertawa kecil. Darah Ackerman akan selamanya darah Ackerman. Kemenangan selalu menjadi obsesi yang mendarah daging bagi mereka, membuat mereka lebih unggul dari orang lain. Tapi sepertinya…

…Levi Ackerman sudah melepaskan hal itu. Toh dia juga sudah menemukan kemenangan mutlak yang menjadi tujuan hidupnya.

Separuh jiwanya.

Dan untuk Mikasa, sepertinya akan menyenangkan memantau gadis itu mencari kemenangannya sendiri untuk tahun-tahun ke depannya.

.

…*…

.

63. Tahun ini dengan janji yang sama

Musim gugur ketiga sudah lewat sejak janji itu dibuat. Eren kini sudah lulus dari sekolahnya, menyandang predikat sebagai mahasiswa dan menginjak usia delapan belas tahun.

Meski sudah memiliki cap label 'dewasa' pada usianya, Eren tetaplah Eren. Masih tetap bersemangat, masih tetap bercita-cita tinggi, dan masih tetap mencintai satu orang, Levi Ackerman.

Hanya satu yang berbeda darinya, Eren sudah tidak lagi sepolos dulu. Ucapkan terima kasih pada Levi Ackerman yang sudah membimbingnya meninggalkan masa putih.

Dan ngomong-ngomong, sekarang bocah itu sudah tinggal satu rumah dengan kekasihnya.

"Sir! Anda tidak akan percaya ini! Mikasa berkencan degan Bibi!" Tanpa mengucapkan salam, Eren meneriakkan kalimat itu saat masuk ke dalam rumah.

Levi yang sedang berbaring di sofa sambil membaca koran hanya mendengus pelan. "Terlambat meributkannya sekarang, bocah. Hanji sudah mengincar Mikasa sejak lama."

"Tapi Anda adalah paman Mikasa! Apa Anda tak merasa harus bertanggung jawab dengan apa yang Mikasa lakukan."

"Jangan samakan Mikasa denganmu." Levi mendengus kecil pada pemuda yang duduk di bawah sofanya. "Usia kalian bisa jadi sama, delapan belas tahun. Tapi usia mentalnya sudah seusiaku, beda denganmu yang tertahan di usia tujuh tahun."

"Anda ingin bilang jika saya kekanakan?!"

"Aku hanya ingin bilang jika itu kau, baru aku akan bertanggung jawab."

Eren menggembungkan wajahnya pelan dan mengalihkan tatapannya dari Levi. Hal yang menunjukkan jika pemuda itu sedang memasuki mood ngambek. "Usiaku sudah delapan belas tahun sekarang. Aku sudah dewasa. Aku bisa bertanggung jawab atas diriku sendiri."

"Aku tahu itu. Aku yang memasang lilin di kue ulang tahunmu sebelumnya."

"Jadi jangan menganggapku anak kecil!" Eren berbalik dan mengadu tatapannya dengan Levi dalam jarak dekat. "Bahkan janji Anda untuk mengajariku cara menyembuhkan demam paling efektif tiga tahun lalu saja Anda lupa."

"Aku tidak lupa."

"Lalu mengapa Anda tak melakukannya juga? Musim gugur sudah nyaris selesai. Tiap hari aku menunggu dengan perasaan berdebar. Mengapa Anda tidak mengerti?"

"Bocah, kau tahu apa maksud 'pengobatan' itu bukan?"

"Tentu saja." Eren mengedipkan matanya dengan ekspresi polos. "Seks kan?"

Andai kata Levi sedang minum kopinya saat ini, tentulah dia sudah tersedak dan terbatuk-batuk dengan tidak elitnya. Tak disangka hanya dengan tiga tahun saja, Eren bisa berubah sederastis ini.

Sudah aku bilang bukan? Eren bukan lagi Eren yang polos seperti dulu.

"Jangan menyesal setelah ini, bocah. Kupastikan kau tidak akan bisa berjalan selama seminggu lamanya."

Tapi toh, Levi tetap suka juga.

.

…*…

.

64. Penyakit yang tak bisa disembuhkan

"Sepertinya aku sakit."

Levi mengatakan hal itu sambil memeluk pinggang Eren dan membenamkan wajahnya di leher sang pemuda. Hembusan napasnya yang berat menerpa leher Eren, membuat remaja itu menggigit bibir untuk menahan desahan lembut.

"Anda tampak sehat, Sir."

"Mungkin." Pelukan itu semakin menguat. Sikap posesif Levi terasa semakin kuat saja akhir-akhir ini. Terutama setelah Eren menanyakan arti air mata yang mengalir saat Levi tengah tertidur. "Akhir-akhir ini aku sering berdelusi."

Eren tampak khawatir. "Perlukah kita pergi ke psikiater."

"Tidak perlu." Levi menjauhkan kepalanya dari leher Eren dan memilh untuk menyandarkannya di pundak. "Kurasa ini bukan hal yang berbahaya. Hanya saja, aku terus merasa melihatmu mati. Bersimbah darah dan penuh luka. Begitu mengerikan. Tapi aku harus meninggalkanmu. Dan aku hanya bisa menyelimuti tubuhmu dengan jubah hijau."

Eren mengedipkan matanya. Menyadari jika hari ini Levi lebih banyak bicara dibandingkan biasanya. Sepertinya delusi yang dialami Levi lebih parah dari yang dibayangkannya. Hanya saja…

"Jubah hijau?" beonya. "Jubah hijau dengan gambar sayap monokrom saling silang di punggungnya?"

"Dari mana kau tahu itu?"

"Kurasa aku pernah melihatnya di suatu tempat. Hanya saja aku tak terlalu ingat," gumam Eren. Satu tangannya naik dan mengusap rambut Levi, mengagumi kelembutannya dan membandingkannya dengan rambutnya sendiri. "Menurut Anda, bayangan apa itu, Sir?"

Levi mendengus pelan di pundak Eren. "Aku tak akan memikirkannya jika aku tahu."

"Tapi pada delusi Anda, Anda melihat saya mati ya?" Eren tertawa kecil. "Kematian yang benar-benar buruk. Penuh luka dan darah. Tapi… kurasa aku bahagia. Anda yang begitu mencintai kebersihan mau menyentuhku yang kotor dan menyelimutiku dengan jubah, meski aku sudah mati. Aku bisa merasakan seberapa besar cinta Anda. Kurasa itu sebuah kematian yang indah."

"Tak ada kematian yang indah jika itu menyangkut dirimu."

"Sir…"

"Aku tak ingin melihatmu mati. Biar saja aku yang mati, asal bukan kau. Aku tak sanggup melihatnya."

"Jika Anda meninggal lebih dulu, mungkin aku akan bunuh diri saja."

"Bodoh."

Digenggamnya tangan Levi yang melingkar di pinggangnya mesra. "Maka dari itu, Sir. Jangan pernah tinggalkan aku. Dan aku juga berjanji. Aku tak akan pernah meninggalkan Anda… lagi."

"Jangan berjanji hal yang tak mungkin bisa kau tepati, bocah. Kau tak tahu sampai kapan kita masih bisa hidup."

"Tapi delusi Anda…"

"Lupakan saja." Levi melepaskan pelukannya pada tubuh Eren dan mendorong mahasiswa itu hingga berada di posisi berbaring. Dijilatnya bibir seperti seekor binatang buas yang berhasil menangkap mangsanya. "Anggap saja itu penyakit yang tak bisa disembuhkan. Lagipula…"

Itu membuatku yakin jika aku jatuh cinta padamu sampai rasanya seperti mati.

Mungkin justru cinta itu sendirilah yang merupakan penyakit tak tersembuhkan.

.

…*…

.

65. Di matamu

Levi masih belum dapat menyimpulkan warna mata Eren yang sebenarnya. Ingin dia menyebutnya hijau, seperti kebanyakan orang menyebutnya. Namun, saat Eren yang sedang tidur sembari memeluk lengannya membuka matanya di pagi hari, dengan cahaya matahari yang tepat jatuh ke atas maniknya, Levi melihat warna emas di sana. Atau saat mereka pergi berlibur ke laut dan dia mencuri gambar Eren yang tengah berenang dengan kameranya, ada warna biru gelap yang bersinar di dalam rongga matanya.

Eren sendiri? Dia yakin benar warna mata Levi adalah abu-abu gelap. Atau hitam—seperti yang ia lihat saat mereka bercinta. Atau mungkin sedikit biru pucat, ia yakin ada warna itu di mata Levi Ackerman, seperti jika mereka pergi ke luar di musim panas, dan cahaya matahari jatuh di mata pria itu. Oke, dia akui, dia juga belum seratus persen yakin dengan warna mata Levi.

Tapi satu hal yang mereka tahu…

"Sir, katakan jika Anda mencintaiku."

"Untuk apa kukatakan?"

"Aku ingin mendengarnya."

"Sudah kukatakan tiap hari, bocah."

"Eh? Eh? Tapi aku tak pernah mendengarnya. Kapan Anda mengatakannya, Sir?"

"Tiap kali aku memandangmu."

"Aku semakin tak mengerti… tolong, bahasa Anda terlalu 'puitis' untukku, Sir…"

"Cih. Aku mengatakannya dengan mataku, bodoh."

"Ma…mata?"

"Ya, sama sepertimu. Setiap kali kau memandangku, aku tahu, kau sedang mengatakan 'Aku mencintaimu' dengan pandanganmu itu."

Muka Eren berubah merah.

…mereka menyimpan segala perasaan dan kata yang tak terucapkan di mata mereka. Menjadikannya sebagai kunci akan hubungan mereka yang meskipun berat tapi akan berusia sangat sangat lama.

.

…*…

.

66. Pergi

Levi pergi.

Jangan berburuk sangka jika Levi sudah meninggalkan Eren. Dan hapus air mata kalian, Levi belum mati. Dia tidak akan mati semudah itu.

Kepergian Levi kali ini hanya atas dasar pekerjaan. Dan waktunya juga hanya dua minggu. Tapi Eren sudah dibuat galau setengah hidup di rumah. Carla dan Mikasa menawarkan agar Eren kembali ke rumah orang tuanya selama Levi pergi, tapi Eren menolaknya. Alasannya sih tidak jelas, bahkan Eren cenderung menghindarinya tiap kali Mikasa mencoba mengorek sesuatu darinya.

Dua hari lagi Levi pulang. Dan di sinilah Eren berakhir. Berbaring di ranjang yang digunakannya bersama Levi sambil menciumi kemeja hitam yang kerap digunakan Levi. Menghirup aromanya dalam-dalam dan memeluknya, menyalurkan perasaan rindu.

Oh, jadi ini alasan Eren begitu keras kepala tak mau pindah?

"Sir…"

Eren benar-benar tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Levi andaikata pria itu pulang lebih cepat dan menemukannya sedang bertingkah seganjil itu di ranjang mereka.

Sebenarnya tidak juga, Eren tahu pasti apa yang akan terjadi. Levi pasti akan mengejeknya hingga berhari-hari. Atau memanfaatkan momen itu dengan memanfaatkan modus 'melepaskan rindu'. Tapi yang paling buruk, jika misalkan Levi sukses mengabadikannya dalam bentuk foto dan…

Ah, Eren tak pernah tahu apa yang dilakukan Levi pada hasil foto-fotonya bermodelkan dia selama ini.

"Bocah. Apa yang kau lakukan?"

Speak of the devil.

Ketakutan Eren jadi nyata.

"S…Sir? Bu-bukankah…"

"Aku menyelesaikannya lebih cepat. Jadi aku pulang."

"Sir…. Ini… ini…"

"Ini? Kau mencoba menghapus rindu dengan menciumi kemejaku?" Melihat wajah memerah Eren, Levi menyeringai senang. "Dasar bocah mesum."

"Bukan begitu! Aku hanya… aku hanya kangen saja…"

Eren menggigit bibirnya melihat Levi yang berjalan mendekat ke arahnya. Perasaannya terasa tak enak. Dan dia tahu pasti apa yang akan terjadi nanti.

"Tunjukkan seberapa besar kau merindukanku, Eren."

.

…*…

.

67. Penghilang rindu

Bukan hanya Eren yang merindukan Levi saat pria itu pergi. Levi pun merindukan bocah bodoh tersebut.

Erwin dan Hanji yang menjadi rekan perjalanannya pun hanya bisa geleng-geleng kepala tidak paham dengan sikap pria itu yang banyak melamun saat bekerja hanya karena rindu. Tapi toh pekerjaannya tetap sempurna, jadi tidak masalah.

"Kau tidak meneleponnya?" Erwin yang baru saja mematikan teleponnya untuk sang kekasih manis nan jauh di sana bertanya.

Levi mengangguk. "Sudah."

"Itu tidak cukup?"

"Sialnya tidak."

Hanji berteriak-teriak riang, mengatakan jika Levi sedang kasmaran setengah mati. Wanita tak takut mati itu kemudian mulai mengejeknya sambil menarikan tarian aneh. Berhenti setelah sebuah tendangan mendarat di tulang tempurungnya. Untungnya, tengkorak Hanji cukup keras sehingga Erwin tak perlu mengeluarkan uang khusus untuk membawa anak buahnya itu ke rumah sakit.

"Aku kembali ke kamar saja. Muak aku berlama-lama dengan kalian."

Erwin hanya menimpalinya dengan senyum saja.

"Hoi, Erwin," paggil wanita yang tadi sempat terkapar di lantai dan berpura-pura mati. "Menurutmu apa yang akan dilakukan Levi di kamarnya?"

"Mungkin dia akan mencari cara untuk melepaskan rindu."

"Maksudmu…" Senyum bahagia Hanji tak pernah menjadi sebuah kabar baik, Erwin Smith tahu pasti hal itu. "Dia akan 'bermain' sendiri?"

"Aku meragukan Levi akan melakukannya."

Hanji sudah tak mendengar jawaban dari Erwin dan kembali menarikan tarian bahagiannya yang sepintas terlihat seperti gurita sekarat. Berbunga-bunga membayangkan apa yang Levi lakukan di kamarnya.

Dasar fujoshi.

Atau mungkin wanita itu hanya sedang berusaha melupakan kerinduan karena Mikasa memutus teleponnya dalam tiga detik dengan mengganggu Levi.

Erwin Smith sendiri tak mengerti mengapa ia bisa betah bersekolah dan bekerja dengan dua makhluk absurd itu selama ini. Mungkin hanya karena mereka bertiga sama-sama menderita penyakit aneh bernama pedofilia, entahlah.

Dan bicara tentang apa yang dilakukan Levi dalam kamarnya, tentu saja jawabannya adalah memasokiskan diri dengan melihat seluruh album berisi foto Eren yang memenuhi setengah kopernya. Tentunya sembari sesekali membayangkan apa yang tengah Eren lakukan di rumah sana.

Dan tentu saja. Itu tak menyembuhkan rindunya. Justru semakin menambah parah saja.

.

…*…

.

68. Es krim

"Levi aku ingin punya anak."

Pria yang tengah minum kopi itu memandang kekasihnya dengan pandangan datar. "Kau lupa jika kau tak punya rahim? Memangnya mau ditaruh di mana jabang bayimu nanti? Di usus besar?"

Eren mengernyit mendengarnya. Tak mau membayangkan jabang bayi yang tumbuh bersama kotoran manusia. "Bukan begitu!"

"Jangan berani mengusulkan surrogate mother. Aku tak mau tidur dengan wanita manapun. Dan aku tak mengizinkan kau melakukannya juga."

"Sudah kubilang, bukan begitu! Dengarkan aku dulu, Sir…" Eren menggembungkan pipinya kesal. "Begini, sebenarnya…"

.

.

.

"Kakak mau membeli es krim?"

Eren menoleh pada suara cempreng yang memanggilnya dari belakang. Yang pertama dilihatnya adalah seorang gadis kecil—tujuh tahun mungkin—berambut hitam panjang yang sedang menunduk membawa kotak pendingin portabel.

Sepintas dia merasa seperti melihat Mikasa saat masih belia. Rambut hitam panjangnya benar-benar serupa dengan milik Mikasa—sebelum gadis itu memotongnya hanya karena Eren mengatakan jika itu akan mengganggu saat Mikasa bertanding basket. Otomatis dia tersenyum kecil.

"Minta dua, boleh?"

Gadis itu mendongak dengan wajah ceria.

Eren terpesona pada matanya. Mengingatkannya akan matanya sendiri. Suatu kebetulan yang sangat unik bukan?

"Terima kasih, Kak!" Gadis itu tersenyum lebar sambil membuka kotak pendingin yang dibawanya.

Eren berjongkok, mencoba menyamakan tinggi badannya dengan sang gadis kecil. Dilihatnya sebuah kertas tertempel di depan kotak pendingin itu. 'Selamatkan panti asuhan kami.' Dia mengernyitkan alis.

"Panti asuhan kami ada di tepi kota. Bukan panti asuhan yang besar. Dananya didapat dari uang pribadi pengurus panti," seolah tahu apa yang Eren pikirkan, gadis itu bercerita. Baru kali ini Eren menyadari kulitnya yang putih pucat. "Kami semua akan dipindahkan ke panti asuhan di kota sebelah. Namun anak-anak di sana menyebalkan. Bukan berarti aku takut, aku yakin aku cukup kuat untuk melawan. Tapi teman-temanku tidak."

Eren mengangguk mengerti. "Jadi kau menjual es krim untuk membantu keuangan panti asuhanmu agar tidak ditutup?"

"Sebenarnya aku berniat untuk membelinya." Eren terkejut mendengar jawaban sang gadis kecil itu. "Selama aku berusaha, aku yakin aku bisa melakukannya. Aku tidak mau kalah pada babi-babi sinting berjas itu."

Eren tersenyum kecil, gaya bahasa gadis itu terdengar familier. Sama seperti gaya bahasa kekasihnya saat sedang memaki para politisi yang muncul di koran pagi. Ah, begitu dilihat-lihat lagi, warna rambut gadis itu lebih mirip warna rambut Levi. Hitam, lembut dan dibelah tengah. "Kau gadis yang tegar. Siapa namamu?"

"Riren."

"Riren ya? Nama yang manis."

.

.

.

"Jadi bocah seperti itu yang ingin kau adopsi?"

"Bukahkah dia lucu?" Eren balas bertanya. "Senyumnya cantik sekali. Tapi sifatnya sedikit mirip denganmu."

Levi mengangguk mengerti. "Baiklah. Kalau itu maumu." Dia bangkit berdiri dan meletakkan cangkir kopinya. "Lagipula, nama Riren Ackerman tidak buruk juga."

Eren tertawa kecil. Dia juga tidak sabar menunggu hadirnya gadis itu di rumah mereka. Tapi sebelum itu, sebaiknya ia harus segera memaksa Levi untuk mengubah namanya menjadi Eren Ackerman terlebih dahulu.

.

…*…

.

69. Keluarga yang sempurna

Menjelang hari kedatangannya 'anak' baru mereka. Levi dan Eren sibuk mempersiapkan kamar bagi gadis itu.

Eren mengusulkan kamar berwarna merah muda. Levi menggeleng, katanya warna putih lebih cocok. Eren berpikir untuk membelikan perabot bernuansa ungu bunga-bunga. Levi mendengus, menunjuk perabot hitam dengan motif klasik yang dipilihnya. Eren sudah hendak menerima tawaran Petra Rall yang dengan baik hati menyediakan diri untuk membuatkan gaun-gaun cantik penuh renda bagi pendatang baru keluarga Ackerman, Levi sudah menyewa Nanaba untuk membuatkan pakaian bagi gadis itu—kebanyakan merupakan gaun sederhana atau celana dengan warna gelap. Eren ingin membelikannya boneka barbie yang biasa dimiliki gadis kecil, tapi Levi sudah membeli setumpuk novel detektif untuknya

"Riren itu gadis kecil berusia tujuh tahun!"

"Aku tahu itu. Kau pikir aku buta?"

Eren mengerucutkan bibirnya. "Tapi…"

"Kau yakin saja padaku. Aku tahu dia seperti apa."

Jadi Eren hanya diam saja. Bahkan saat Riren diantarkan ke rumah mereka oleh wanita tua pengasuhnya di panti asuhan, dia tak terlalu banyak bicara dan membiarkan Levi mengambil alih.

"Ah, kakak yang waktu itu…" gadis itu berkata dengan nada kaget saat melihat Eren menyambutnya di depan pintu. Wajar saja, selama ini Levi lah yang mengurus setiap dokumen tentang pengasuhan Riren, tentu gadis kecil itu tidak tahu siapa 'Mama' yang menunggunya.

Levi menepuk pundak gadis kecil itu. "Dia pasangan hidupku."

"Anda sangat beruntung, Sir." Eren benar-benar kagum pada gadis itu. Awal dia bertemu Levi saja, dia sama sekali tak bisa bicara tanpa tergagap pada pria itu. Sementara gadis itu, hanya dalam hitungan jari pertemuannya dengan Levi, tampak cukup dekat dengannya. "Kakak adalah orang yang sangat baik."

"Penilaian yang cukup bagus, Riren."

Eren tak mau mengaku jika dia cemburu. Hei, sampai sekarang Levi masih memanggilnya dengan sebutan bocah. Sedangkan pada Riren…

Oh, lupakan saja.

Gadis itu menggandeng tangan Levi dan Eren saat mereka hendak menunjukkan kamar baru sang gadis. Dari sisi manapun mereka tampak benar-benar seperti keluarga bukan? Eren bahkan tampak seperti mengalami proses mustahil bernama M-preng. Salahkan saja sosok Riren yang tampak seperti perpaduan gen Levi dan Eren.

"Kamar yang bagus. Anda bahkan sudah membelikan buku-buku kesukaan saya. Terima kasih banyak."

"Sudah kuduga kau akan menyukainya."

Eren hanya bisa memangdang Levi dan Riren bergantian. Mereka tampak sudah benar-benar akrab. Padahal pada awalnya dia takut terjadi perang mini antara dua orang itu.

"Tapi ada yang kurang." Gadis manis itu berjalan menuju meja belajarnya dan mengelusnya pelan. "Apa kita tidak bisa foto bertiga? Sejak dulu, aku ingin memajang foto keluargaku jika aku diasuh di meja belajar."

Eren boleh menganggap sikap gadis itu manis, tapi Levi hanya mendecak pelan. "Kau ini banyak maunya saja."

"Tidak apa-apa kan, Sir?"

Dua mata hijau menatapnya penuh harap. Levi menghela napas panjang. Kalah.

Seminggu setelah itu, sebuah foto bernuansa hitam putih terpajang di sana. Di dalamnya terdapat seorang pria yang usianya mendekati kepala empat berwajah serius, seorang pemuda yang baru menanjak kedewasaan dan seorang gadis kecil yang tersenyum lebar.

Mungkin mereka memang bukan keluarga yang sempurna. Tapi mereka keluarga yang bahagia bukan?

.

…END…

.

Ini end… aku sendiri nggak nyangka akan end… akhirnya FF MC-ku ada yang complete juga TTwTT

Terima kasih untuk semua yang sudah membantu. Seharusnya aku update kemarin, tapi ospek memang nggak bisa dilawan… Mungkin chapter kali ini agak ngawur ya, wajar, aku nggak tidur nyaris selama 4 hari dan masih lelah batin dimaki senior terus…

Makasih banyak atas dukungannya ya ^^, balasan review besok pagi aja ya, aku mau ngelunasin utang tidur dulu, hehehe,