"Kenapa kau suka sekali membaca novel fiksi begitu sih. Cuma cerita khayalan saja."

Gadis bersurai sehitam permadani malam itu tersenyum. Tanpa mengalihkan mata dari novel yang tengah ia baca dalam hati, tahulah bahwa kepala coklat pemuda di sisinya itu tak berpaling ke lain objek.

"Aku seorang novelis, kalau kau lupa. Membaca dapat membuat imajinasiku tumbuh dan berkembang."

Gadis itu tertawa dalam hati begitu rumah siputnya menangkap hembusan napas tak suka lelaki tersebut.

"Kau aneh, Mikasa. Kau pernah bilang padaku bahwa sumber inspirasimu berasal dari kenyataan, tapi sekarang ucapanmu berbeda. Yang benar yang mana?"

Telunjuk kanan Mikasa melipat ujung bawah kertas di halaman 69 sebagai penanda, sebelum kedua tangannya menutup novel setebal empat senti tersebut. Dengan senyum yang masih terkembang, ia memalingkan antensi pada Eren Yeager—nama pemuda yang duduk di samping kanannya.

"Aku menyukai ragam warna yang netraku tangkap penuh fiksi. Semua yang kedua irisku lihat adalah sebuah kolam sumber inspirasi paling indah yang mampu kukuras dalam tiap jengkal telusurku bergerak."

Sekali lagi, Mikasa mendengar desah napas berat Eren. Namun kali ini, dia turut menyaksikan tangan kanan Eren memijat pangkal hidungnya.

"Oke, aku memang selalu tidak mengerti tiap syairmu."

Karena otaknya yang selalu tidak mengerti frasa sastra dari mulut Mikasa itulah yang membuat kening berkerut Eren semakin menjadi begitu ia melihat senyum gadis bergaris wajah oriental itu bertambah lebar. Menertawakan kekurangannya, sudah langganan dan Eren sama sekali tidak suka ia terlihat bodoh. Apalagi sesering mungkin.

"Berhenti memasang tampang seperti itu, Mikasa. Kau terlihat menyeramkan."

Mikasa membuka kembali novelnya. Tepat di halaman berujung kertas terlipat kecil tadi.

"Walau aku menyeramkan begini, kau tetap suka, kan."

Hening yang datang tiba-tiba membuat sebuah tawa kecil lolos dari bibir gadis itu.

"Berhenti tertawa, Mikasa!"

Gadis itu tersenyum miring. "Kalau begitu, coba lakukan sesuatu selain hanya menggertakku."

Bunyi novel Mikasa yang jatuh menjadi wujud kekagetan atas aksi tidak sopan putra tunggal Yeager itu meladeni tantangan spontannya dengan mempertemukan kedua bibir mereka. Gerakan ibu jari Eren di atas punggung tangan Mikasa yang ia genggam, mampu mengurangi detak jantung cepat gadis itu perlahan-lahan. Hingga beberapa detik kemudian, Eren tersenyum dalam ciumannya saat ia rasakan Mikasa balas mengeratkan genggamannya.

Kali ini pemuda itu yang ganti memamerkan seringai kemenangan saat memberikan jarak pada masing-masing wajah.

"Kenapa Mikasa? Kalah omongan, ya?"

Gadis itu berusaha menyembunyikan wajahnya yang semerah tomat dengan berpaling ke kiri. Tapi sayangnya, dia tidak bisa membuat kedua iris sewarna hijau daun Eren memotret rona malu tersebut.

"Dasar mesum."

Tawa pria kepala dua puluh tahunan yang seketika membahana itu semakin membuat kadar kemerahan pada wajah Mikasa menjadi-jadi.

"Meski mesum begini kau tetap akan menikah denganku, kan."

Mikasa menganggukkan kepalanya pelan. Membarengi gerakan tangan Eren yang mengusap lembut kepalanya diwarnai derai tawa lanjutan pemuda berwarna iris menyejukkan tersebut.

.

.

.

.

.

"Aneka bentuk yang selalu dapat kunikmati kini gelap seutuhnya. Sama sekali tak tampak warna dalam otakku."

Mikasa menghembuskan napas pelan begitu ingatannya mengingat sebuah momen bersama sang tunangan. Namun secepat asap menghilang, pikiran melayangnya kembali terfokus. Tak jauh-jauh objek dalam benaknya, hanya seputar pada pemuda berambut coklat itu dan memang begitulah kenyataannya.

Kedua tangan yang berada di atas pangkuannya saling bertaut. Terdapat sedikit gerakan yang membuat kerapatan tiap jari-jari tersebut bertambah. Rautnya yang tenang sama sekali tidak membantu menyembunyikan kegusaran. Semua hanya karena posisi kedua alisnya yang menukik, meski sedikit. Tak itu juga, pandangan mata lurus pada satu-satunya jalan besar di depan semakin merekam suasana hatinya.

Mikasa tengah menunggu seseorang.

"Eren."

Menunggu Eren sejak lama.

"Eren..."

Tetap menunggu di tempat dari mana Eren akan datang, sesuai janjinya.

"...Kau lama sekali."

Kukuh menunggu pemuda yang tak akan pernah datang selama-lamanya.


Shingeki no Kyojin © Hajime Isayama

This Fiction © Sakura Hanami

For Romy's Birthday

.

.

.

Fiction and Fact

.

.

.

Rivaille/Levi and Mikasa. A

with

Armin. A and Eren. Y

.

.

.

Warning: Rivaille (25 y.o), Mikasa, Eren and Armin (23 y.o),

AU setting, only three shoot.

.

.

.

Happy reading, hope you like it

and please yor review^^


Part 1

.

.

.

Kedua alis Rivaille sedikit bertaut. Adalah punggung seorang gadis berambut sewarna langit malam dengan panjang segaris bahu dipandangan kedua iris kelabunya. Tubuh si gadis yang kurus berbalutkan coat coklat muda. Titik titik salju mengotori pakaian tebal tersebut. Ranting-ranting milik pohon besar yang berdiri tepat di belakang kursinya telah meranggas tanpa menyisakan sehelai daun pun, sama sekali tak memiliki kuasa untuk memayunginya. Seolah hanya menumpang berdiri sebagai penghias jalan.

Gadis itu duduk tepat di tengah kursi panjang di sana seorang diri dengan arah kepala menghadap ke depan. Sebuah jalan raya yang ramai diwarnai lalu lalang kendaraan membentang cukup lebar. Sedang hiruk pikuk aktifitas kota tidak berasal dari sana saja. Orang-orang yang meniti langkah di depannya pun cukup sibuk. Sama sekali tidak mengacuhkan keberadaannya. Paling tidak, sekedar untuk meminjamkan payung yang tiap tangan mereka bawa kepadanya yang telah cukup kotor oleh butiran salju. Namun, hal tersebut sama sekali tidak terjadi.

Gadis itu tetap sendirian di sana. Waktu yang ia lewatkan di satu tempat itu bukan berkisar antara satu dua menit atau tiga empat jam. Tapi sudah masuk ke dalam kategori hari. Begitu terus. Seperti tak ada capeknya. Justru, orang-orang yang menjumpainya lah merasakan lelah. Lelah menawarkan payung mereka.

Hal itu juga dapat diketahu dari arti desahan berat seorang pemuda pirang yang berdiri di kiri Rivaille. Setelahnya, Armin Arlert—pemuda yang dimaksud—menyipitkan mata birunya. Nanar terpancar dari sana.

"Mikasa Ackerman." Rivaille angat suara.

Armin menoleh dan ia dapat melihat alis lelaki dengan tubuh lebih pendek darinya itu bertaut lebih dalam. Tanpa mengalihkan pandangannya, Armin mengangguk. Mata sewarna langit di musim panas itu sama sekali tidak mampu membaca ekspresi hambar Rivaille. Armin tak dapat merasakan atau menebak karsa dari wajah yang terlalu datar itu. Sekalipun Rivaille tampak tengah berpikir. Bagaikan ada selaput tipis yang melindungi isi kepalanya. Atau bisa jadi, dia lah yang tidak memiliki kemampuan untuk meambaca isi hati orang lain.

Armin mengembalikan tatapannya kepada Mikasa. Mungkin memang benar begitu. Lagipula, dia tidak punya hak untuk mengetahui apa yang tengah dokter muda ini pikirkan atau kesannya terhadap Mikasa. Satu yang dia tahu, semua dokter hanya memikirkan kesembuhan pasiennya. Pasti Rivaille—

"Benar sudah dua bulan nona Ackerman begitu?"

Kesadaran Armin dipaksa merasuki tubuhnya lagi. Suara pelan nan berat Rivaille membuatnya tersentak dan psikolog itu, melalui sudut matanya, melihat bahu Armin yang terlonjak. Tanpa Armin tahu, kening Rivaille berkerut lebih dalam lagi.

Pemuda itu menyusun sisa-sisa fokusnya dengan berdeham pelan sebelum menjawab pertanyaan Rivaille dengan satu kata 'ya'.

"Mungkin kalian belum cukup berusaha."

Kepala Armin menoleh cepat. Secepat bara api dalam hatinya yang menyala kecil begitu perkataan Rivaille bergema sepanjang lorong telinganya. "Aku dan keluarga Yeager sudah berulang kali menjelaskan kenyatannya. Bahkan kami sampai membawa Mikasa ke makam Eren. Tapi dia tetap bersikeras bahwa Eren masih hidup."

Komentar dokter muda yang sampai hati itu tidak bisa diterimanya. Dia sama sekali tidak mentolerir orang-orang yang menempelkan stempel bertuliskan 'tidak peduli' di dahinya sementara segala upaya telah dipergunakannya untuk menyadarkan Mikasa. Ia benar-benar tidak terima.

Di hadapan kedua netranya yang mendelik bahaya menahan marah, terlihatlah Rivaille yang mengangguk paham.

Padahal Rivaille mengangguk karena mengetahui kebenaran dalam alunan suara Armin yang bergetar. Profesinya yang seorang psikolog dapat membedakan jujur tidaknya seseorang hanya dari desir pita suara orang tersebut. Pun dari kondisi Mikasa yang mengerikan—baginya. Dia jadi tidak bisa memvonis dengan status 'kritis' atau 'akut' atas trauma yang gadis itu alami. Dengan melakukan satu tes disertai pendekatan langsung, barulah ia dapat menyematkan salah satu ungkapan tersebut kepada Mikasa. Pertanyaan apakah gadis itu bisa sembuh atau tidak yang sedari tadi berputar di kepalanya pun bisa terjawab.

Rivaille melangkahkan kakinya. "Mari kita lihat."

Jarak yang ditaksir sekitar sepuluh meter itu semakin berkurang. Langkahnya lebar namun konstan. Mengurangi meter menjadi sentimeter pelan tapi pasti. Dibelakang Rivaille, Armin mengekor. Wajahnya mengalirkan keringat sebesar butir jagung. Pias bak cat putih tembok membuatnya terlihat bagai mayat hidup. Lengkap pula dengan rahang keras serta kedua bola mata melotot. Pikirannya berkelana lagi. Mengulang-ulang adegan yang selalu sama dalam kurun waktu satu sampai dua bulan yang lalu. Entah ada berapa banyak dokter spesialis kejiwaan yang gadis itu usir.

Laju kaki Rivaille yang tanpa keraguan justru semakin meciutkan diri Armin dalam diamnya. Ia takut Rivaille juga bernasib tak jauh beda dari dokter-dokter yang lalu. Ia takut kalau benar Mikasa tidak bisa sembuh, selamanya—Armin memejamkan mata. Kedua tungkainya mendadak terpaku di tanah. Ia biarkan Rivaille meniti jalan sendirian ke tempat Mikasa.

Dia tidak sanggup membayangkan.


"Eren?"

Sepasang iris kelabu Rivaille sedikit melebar. Hanya sedetik sebelum senyum kecilnya terkembang. Lelaki itu menghilangkan sisa jarak yang tersedia dengan menarik satu langkah ke depan lalu mengambil ruang kosong tepat di samping kiri Mikasa.

"Maaf, aku terlambat. Meetingnya ternyata jauh lebih lama dari jadwal."

Kepala berhelai legam sebahu itu menggeleng. Air mukanya terlihat lebih cerah—tidak, sangat sangat cerah dari biasanya. Senyumnya tertarik amat lebar dengan rona merah yang sedikit menyemu di kedua pipinya.

"Tidak apa-apa, Eren. Asal kau tiba dengan selamat, aku sama sekali tidak keberatan menunggumu di sini."

Belum mengubah tempat kedua kakinya berpijak, ada sedikitnya lima meter di tempatnya tiba-tiba berhenti tadi, Armin mengucek-ucek matanya. Memastikan apakah dia tidak salah lihat yang barusan. Kemudian ditajamkanlah fokus kanta beriris biru cerahnya saat ia kembali melihat pergerakan—

Rivaille mengangkat tangannya untuk mengusap kepala gadis bertekstur wajah Asia itu.

—dan melihat sebuah fenomena. Pipi Mikasa bertambah merah karena kehangatan perlakuan Rivaille.

Untuk sejenak, Armin menahan napas. Ekspresi yang terpatri di wajah Mikasa sudah lama sekali tidak dilihatnya. Tapi, apakah benar dia tidak salah lihat? Kembali Armin melakukan hal yang sama terhadap matanya.

Nyatanya, semua itu bukanlah ilusi. Dia memang tidak salah lihat pun tidak memiliki cacat mata. Di atas kursi panjang di sana, wajah sumringah Mikasa masih bertahan sama halnya dengan gerakan tetap namun lembut yang Rivaille lakukan pada kepala gadis itu. Cepat-cepat dia menghampiri dua insan anak cucu Adam tersebut.


Sedangkan Rivaille—entah apa yang ada di kepalanya—begitu ia dikira Eren, dia langsung memvonis gadis itu dengan kata 'akut'. Persentase untuk sembuh pun kurang dari 20%. Apalagi, dia sudah begini selama dua bulan lebih, mendekati tiga bulan. Trauma yang Mikasa alami sudah sangat parah.

Tapi entah mengapa, ada sebuah dorongan dalam dirinya untuk mengupayakan kesembuhan gadis ini. Untuk alasan yang sama sekali tidak dia mengerti, mulutnya bergerak tanpa perintah memberikan respon terhadap panggilan Mikasa tadi.

Mungkin nalurinya sebagai dokter?

Rasanya tidak. Rivaille adalah tipe dokter 'kejam'. Dia bisa memperoleh predikat tersebut—selain cum laude dari Harvard University—adalah karena keengganannya menolong pasien yang dipastikan tidak akan bisa sembuh lagi. Baginya, tindakan yang percuma itu melelahkan. Apalagi bila malaikat maut telah mengikatkan tali tambang di leher seseorang. Tinggal sekali tarik, maka nyawa orang tersebut telah dia dapatkan.

Rivaille tertawa dalam hati. Sepintas tadi dia jadi teringat dengan adegan yang selalu saja sama di film-film roman. Dimana berlusin-lusin dokter masih bersikeras menutup pintu ruang operasi, membiarkan keluarga korban yang berdarah-darah itu menangis memohon untuk ikut masuk, padahal si korban telah mengatakan 'nyawaku tidak akan panjang lagi' di atas tempat tidur beroda.

Lalu apa alasannya kali ini untuk berusaha?

Kerana penasaran dengan trauma yang dialami Mikasa Ackerman?

Tidak juga. Post Traumatic Stress Disorders yang Mikasa idap disebabkan karena dia mengalami, melihat dan menjadi korban dalam suatu kecelakaan beruntun. Apalagi tunangannya pun—Eren Yeager— turut menjadi salah satu korban dari kecelakaan yang diakibatkan kelalaian satu orang sopir tersebut. Sialnya lagi, kebutaan pada matanya berawal dari situ. Lengkap sudah.

Trauma Mikasa masuk ke dalam kategori pertama dan sudah bukan menjadi sebuah penyakit berjenis langka karena hal itu telah ia pelajari sampai ke akar-akarnya selama di perkuliahan dulu.

Lalu karena apa?

Rivaille tetap tidak tahu. Yang ia tahu, ia hanya merasa kagum pada Mikasa. Lebih tepatnya, terhadap kuatnya perasaan gadis itu kepada almarhum Eren Yeager.

Menakjubkan. Betapa cintanya gadis ini terhadap tunangannya. Dia rela menjadi gila karena menolak kebenaran akan Eren yang telah tewas. Rivaille jadi teringat, kata orang banyak perasaan yang dinamakan 'cinta' itu menyenangkan sekaligus menyakitkan.

Cinta, ya?

Sejak dulu, Rivaille sangat penasaran dengan teori orang-orang awam terhadap 'cinta'. Kata mereka, cinta itu buta. Tidak memandang kelebihan ataupun kekurangan dari lawan jenis.

Kalau begitu, cinta memandang apa?

Atau ada juga yang mengatakan, cinta datang tiba-tiba. Rivaille tidak habis pikir.

Tidak ada mata kuliah di universitasnya yang bernama 'taruma disebabkan cinta' sedangkan banyak sekali orang disekitarnya yang mengaku kapok menjalin hubungan dengan lawan jenis karena merasa cintanya dikhianati. Tetapi sekarang, dihadapannya duduklah seorang gadis yang memiliki perasaan cinta amat besar hingga menimbulkan trauma berkepanjangan.

Bisakah kasus gadis ini disebut 'post traumatic stress disorders karena cinta'?

Tidak. Karena sama seperti mata kuliahnya yang tidak pernah ada.

Bagaimana kalau disebut 'gila karena cinta'?

Sepertinya cocok.

Mungkin, inilah yang menyebabkan Rivaille tertarik untuk menyembuhkan Mikasa karena perasaan 'cinta' gadis itu terhadap tunangannya. Ia sama sekali tidak pernah tahu, merasakan bahkan mengenal cinta. Dari siapapun. Hidup sendiri tanpa adanya orang tua, mungkin karena faktor yatim piatunya lah yang menyebabkan hatinya sebeku es di kutub. Sedangkan mata kuliahnya tidak mencantumkan soal 'cinta' jadi dia tidak bisa mempelajari secara teori tentang perasaan yang telah seluruh orang rasakan tersebut—kecuali dia. Jadi sampai saat ini pun, Rivaille sama sekali tidak mengerti dan masih bertanya-tanya mengenai seberkas rasa yang mampu mengubah kepribadian seseorang tersebut—bahkan sampai gila, seperti gadis ini.

Kalau sebegitu penasarannya ia, kenapa tidak dari dulu saja ia menanyakan hal tersebut kepada dosennya?

Rivaille tidak terlalu bodoh untuk menanyakan hal sesepele tersebut kalau tidak ingin tawa teman-teman kampusnya melemparkan tawa mengejek. Selain itu, ia pun masih mengingat satu petuah lama, 'cinta tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata'. Toh, sudah dapat diramalkan dan pastikan bahwa tidak akan ada jawaban yang ia dapatkan jika dulu benar ia menanyakan 'jelaskan apa itu cinta' kepada dosennya.

Perasaan gadis itu menarik. Rasa penasarannya yang menggebu semakin mendesak. Ia jadi ingin mengetahui lebih jauh mengenai 'cinta' dan cara terbaik menurutnya adalah melalui Mikasa. Sudah ditetapkan, gadis ini objek yang sangat bagus. Dia akan menjadi 'kelinci percobaannya' sekaligus sebagai narasumber terbaik.

Siapa tahu, berkat penelitiannya ini, semua traumatik yang cinta sebabkan akan ada solusinya dan bisa jadi, semua univer—bukan, tapi semua lembaga pendidikan akan mencantumkan judul buku karangannya, 'cinta dalam psikologi'—yang secara asal muncul dalam benaknya—sebagai daftar buku mata pelajaran pendidikan karakter, agar semua umat manusia berhenti diterpa kegalauan tak berujung karena perasaan yang menurutnya penuh misteri itu.

Sinar di matanya berkilat senang. Berkebalikan dengan cahaya di sorot Armin yang baru saja tiba.

.

.

.

Rivaille menoleh ke arah terdengarnya deru nafas pemuda pirang itu. Diikuti pula dengan gerak kepala Mikasa. Rautnya ingin tahu, sekaligus heran meski arah mata gadis itu tak jelas memandang kemana atau pada siapa. Walau begitu tak urung jua senyumnya tetap tampil, meski kecil.

"Kau kenapa Armin? Habis dikejar seseorang? Atau sesuatu?"

Mulut sahabat sejak kecil Mikasa itu tak mampu mengeluarkan selirih suara. Lidahnya terlalu kelu untuk berucap walau hanya sepatah kata. Armin terlalu tidak percaya dengan wajah berbunga Mikasa sekalipun ia telah melihatnya dari jarak satu meter—seperti sekarang ini. Haruskah ia menghadapkan wajahnya pada Mikasa untuk lebih meyakinkan penglihatannya? Tidak mungkin ia melakukan hal tersebut kalau tidak ingin kena tendang karena Mikasa mengira ia akan menciumnya. Itu tidak akan pernah terjadi.

"Kau tidak apa-apa Armin? Anjing tadi tidak mengejarmu lagi kan?"

Pertanyaan Rivaille otomatis mengalihkan keheranan Mikasa. Raut wajahnya langsung berubah dari heran menjadi khawatir. "Kau dikejar anjing?"

Armin menatap Rivaille dan langsung tahu bahwa dokter tersebut memiliki sebuah ide kebohongan untuk menutupi tingkahnya yang membingungkan gadis berkulit seputih salju tersebut.

"Armin? Kau baik-baik saja?"

Mikasa memang telah buta, tapi sebagai tunanetra baru, dia cepat belajar. Gadis itu memang dikenal jenius sejak di sekolah dasar. Meski belum terbiasa, tapi Mikasa segera menyesuaikan diri. Seolah dia sudah bertahun-tahun atau bahkan sejak lahir sudah tak dapat melihat. Dia sangat lancar membaca buku berhuruf braile. Dia pun dapat mengetahui kedatangan seseorang. Bahkan dia juga dapat mengetahui segala kegelisahan, ketakutan, maupun kebahagaiaan orang lain hanya dari sedikit suara atau dari pergerakan tubuh orang tersebut, selirih apapun. Maka dari itu, Armin tidak bisa mengatakan 'baik-baik saja' sementara kedua alis Mikasa menukik hampir menyatu.

Keputusan yang paling baik, adalah dengan mengikuti alur yang Rivaille buat.

Tanpa berusaha menetralisir deru napasnya yang masih berat, Armin menjawab pertanyaan gadis itu, "Yah. Aku baik-baik saja. Anjing itu tidak mengejarku lagi."

Mikasa mengekspresikan kelegaannya dengan menghembuskan napas. Entah sejak kapan dia reflek menyumbat kerongkongannya. "Syukurlah."

Armin tertawa. Masih tersengal-sengal. "Setidaknya saran dari..." Armin melirik Rivaille. Alisnya sedikit bertaut. Ekspresinya mewakili pertanyaan 'apa aku tidak salah dengar kalau Mikasa memanggilmu Eren?' untuk Rivaille dan lelaki itu mengangguk pelan sekali sebagai jawabannya.

"...Eren cukup membantu." Lanjutnya cepat—kelewat cepat malah. Armin langsung mengepalkan kedua tangannya sedetik kemudian. Bagaimana bisa dia melupakan kejeniusan Mikasa? Gawat kalau gadis itu mengetahui ketidak benaran perkataannya.

Dadanya ramai oleh suara degup jantungnya sendiri saat raut lega Mikasa kembali serius. Bibir bawahnya ia gigit pelan. Matanya ia pejamkan dan doa turut dipanjatkan dalam hati. Armin begitu ketakutan dan cemas. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Rivaille. Dalam posisinya, dia melirik Mikasa dari sudut kanan kemudian kembali lagi pada Armin yang semakin memucat. Sinar di matanya begitu jelas. Rivaille tahu sejak awal bahwa pikiran gadis ini sangatlah kacau. Dikacaukan oleh kebahagiaan karena 'Eren' telah datang. Jadi, alur karangan yang dia buat secara cepat tadi pastilah berhasil—

"Memangnya Eren memberimu saran seperti apa? Atau tadi kalian sempat bertemu tapi Eren membiarkanmu dikejar anjing?"

Armin terbelalak sedangkan Rivaille tersenyum kecil sambil menunduk.

—apa yang seorang Rivaille lakukan selalu berhasil, sekalipun dadakan.

Jakun Armin bergerak ke atas dan ke bawah. Berusaha menyuling saliva untuk tetap memberikan irigasi pada tengorokannya yang mengering drastis. Kegugupan pemuda itu masih terasa. Cara ini tidak akan membangkitkan kecurigaan Mikasa daripada dengan berdeham. Setidaknya, meski Mikasa Ackerman selalu menempati peringkat pertama semasa sekolah dulu, Armin Arlert selalu mengikuti kesuperioran nilai-nilai Mikasa dengan berada tepat di bawahnya. Kemampuan otaknya untuk berpikir cepat dan bertindak tepat tak kalah pula dari gadis itu.

"Bukan begitu." Kembang kempis dada Armin mulai normal. Dia sengaja mengambil jeda sejenak untuk menarik oksigen dan menghembuskannya sekali. Mengakhiri tempo cepat sekaligus mengawali fase normal proses pernapasannya.

"Aku menelfon Eren untuk menayakan cara kabur saat dikejar anjing dan dia menyuruhku untuk memanjat pohon atau berlari sekencang yang aku bisa. Sayangnya aku terlalu kalut hanya untuk menolehkan kepala mencari pohon. Jadilah aku memilih opsi kedua." Lanjut Armin bercerita panjang lebar karya mulutnya.

Santai, lugas dan masuk akal. Rivaille memuji kepintaran—maksudnya kecerdasan Armin dalam hati. Pujiannya yang berdasarkan fakta pemuda seumuran Mikasa itu memang bukan hanya semata karena ia tahu jabatan Armin sebagai humas merangkap penasehat direktur perusahan Yeager Industries. Armin Arlert memang salah satu dari bibit-bibit unggul sumber daya manusia di Bumi dan Rivaille paling suka berhubungan dengan orang-orang pintar macam Armin.

"Oh, begitu rupanya." Selanjutnya Mikasa tertawa pelan sedangkan ia dan Rivaille bertukar pandang sedetik sebelum menyusul dengan gelak yang sama pelannya dengan Mikasa. Keduanya tidak menyangka—apalagi Armin—bahwa mereka berhasil membohongi Mikasa. Selama hampir seluruh hidupnya dia mengenal Mikasa, tak pernah sekalipun Armin membalik ucap. Tetapi beberapa menit yang lalu, dia baru saja menjadi pendongeng ulung. Ingin rasanya Armin membenturkan kepalanya ke aspal.

Rivaille tahu bagaimana shocknya Armin dengan aksi ini. Meski tersamarkan, tapi ia tahu bahwa Armin masih terlalu kaget untuk menerima fakta baru. Bahwa dia tidak hanya pandai dalam urusan pekerjaan tapi juga pandai berbohong. Terlihat dari betapa kuatnya kepalan tangan pemuda itu di sisi-sisi tubuhnya. Tebakan Rivaille sama sekali tidak salah.

"Kalau begitu, kau pasti lapar dan haus. Bagaimana kalau kita makan bertiga saja?"

Penawaran Mikasa tersebut membuat sekujur tubuh Armin beregetar. Bagaimana bisa Mikasa termakan oleh semua ceritanya padahal dia tahu benar kalau gadis itu sudah sangat terlatih dengan kondisinya yang kini cacat? Ini memalukan. Dia telah mencurangi seorang tunanetra dan si tunanetra itu adalah sahabatnya sendiri?!

Tapi sejak awal ini bukanlah rencananya.

"Benar sekali. Sudah lama kita tidak berkumpul bersama."

Suara Rivaille yang menimpali perkataan Mikasa menarik kesadaran Armin. Menyadarkannya akan si pelopor kebohongan ini. Kedua iris biru pemuda itu bergerak pelan. Tajam nan berbahaya. Memancarkan seberkas cahaya kemarahan. Mengarah pada Rivaille dan ternyata lelaki itu pun tengah menambatkan tatapan padanya.

'Kalau kesembuhannya dengan cara kebohongan, bagaimana tidak?'

Bagaikan diguyur seember air es, panas yang auranya kuarkan tiba-tiba lenyap. Ia terkenang dengan keinginannya, yaitu Mikasa segera sadar bahwa Eren telah tiada.

"Bagaimana kalau di Voyage saja?" Mikasa memberi usul.

Yang Armin ingin lihat adalah senyum diwajah Mikasa seperti saat ini.

"Pilihan yang bagus. Bagaimana menurutmu, Armin?"

Si pemilik nama yang Rivaille sebut mengerjab sekali. Ia menoleh dan dimatanya, terpampanglah Mikasa yang tengah tersenyum berdampingan dengan Eren.

Eren?

Armin mengerjab sekali lagi.

Tidak. Bukan Eren. Lebih pendek dari Mikasa, disebelahnya adalah Rivaille. Raut wajahnya sangat kontras dengan sahabatnya. Lelaki itu selalu berwajah datar. Entah bagaimana dia bisa mengatur nada suaranya jadi secerah mentari.

Tak ada sahutan dari Armin, Mikasa menegurnya, "Armin?"

Pemuda itu mengerjab lagi sebelum sebuah senyum yang amat terpaksa tercetak dibibirnya. "Baiklah. Kita ke Voyage sekarang."

Yang Armin inginkan hanya kebahagiaan Mikasa. Akan dia tukarkan apapun yang ia miliki untuk mewujudkan semua harapannya. Tapi, kenapa dia jadi ragu setelah kini ada orang yang bersedia mengabulkan keinginannya itu? Memang tidak boleh sembarangan berpikir jelek tentang orang lain, apalagi yang baru dikenal. Tapi entah bagaimana, dia seolah tahu bahwa Rivaille mempunyai motif lain dan sepertinya ada hal buruk yang akan terjadi.

Armin menepis semua prasangka jeleknya. Tak apa. Meski ada suatu hal yang melandasi kebersediaan Rivaille, itu tidak penting selama dokter itu bersedia mengupayakan kesembuhan Mikasa. Hanya kepada Rivaille lah ia berharap. Tidak akan ia buang kesempatan kecil ini dimana semua bintang telah meredupkan cahaya harapannya.

Armin menatap Rivaille. Memasang tatapan sangat memohon sama seperti saat ia meminta dokter tersebut berkenan melihat kondisi Mikasa. Sama seperti tadi, bertepatan dengan Rivaille yang juga tengah memanah atensinya pada kantanya(*). Seolah ia memang ingin mengatakan suatu hal melalui tatapan mata saja.

'Aku akan berusaha.'

Apapun akan Armin lakukan demi Mikasa. Meski hatinya berkata menentang.

Armin menganggukkan kepalanya mantap merespon telepati Rivaille, sebelum dia menggandeng Mikasa.

"Ayo kita berangkat."


To be continued...


A/N:

Yang request selamat ulang tahun :D #tebarbunga.

Maapkan saya karena telat ngasih kado #ngumpet #udahduabulanberlalu.

Banyak alasan sih, salah satunya yang paling umum, karena saya sudah mulai disibukkan oleh kegiatan ala anak tahun terakhir di sekolah menengah kejuruan. Terus karena moody dan yang terakhir karena ilang feel galaunya #peace.

Saya akui kalau sama sekali ga ada sense di cerita haru biru, jadi harap maklumi dan semoga feelnya dapet #gabakat. Saya mah, ga bisa berharap yang lain lagi selain itu :3

Oh, untuk pembaca sekalian #ngumpet. Saya tau kalau punya banyak utang fic multichap. Tapi bukan berarti saya menelantarkan anak-anak saya lho #serius. Untuk ngetik dan publish chapter baru memang butuh waktu yang laamaaaaa. Ya semua itu karena kesibukan saya. Karena saya tipe author yang berimajinasi dulu kemudian nulis ide-ide penting dari tiap chapter, baru kemudian ngetik. Maapkan saya :3

Tapi untuk yang ini, karena cuma sampe tiga chapter dan fic ini sebagai kado ultah, jadi akan saya update 7-14 hari sekali. Harap maklum ya :3

Okelah, ga perlu panjang lebar. Semoga suka fic ini dan mohon doanya untuk kesuksesan saya ya :D #aaminn.

Terima kasih buat yang udah berkenan baca. Kritik dan saran sangat membantu. Jangan lupa review ya :D

Sampai jumpa di next chapter.

Salam,

Sakura Hanami